Manusia pribadi sebagai subyek hukum merupakan hak dan kewajiban serta mampu menjalankan hak dan kewajiban tersebut yang dijamin oleh hukum yang berlaku. Menurut KUHPerdata manusia sejak dilahirkan telah menjadi subyek hukum, meskipun ketika saat itu belum menjadi cakap hukum dan dalam keadaan tertentu yang telah ditentukan dalam undang-undang menghendaki, manusia yang sedang dalam kandungan pun bisa menjadi subyek hukum.
Dalam KUHPerdata Pasal 2 menyebutkan, anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Namun kemudian hal tersebut tidak berlaku jika, ketika dilahirkan, anak tersebut mati sehingga ia dianggap tidak pernah ada. Ketentuan pada Pasal 2 ini kemudian berhubungan dengan ketentuan pada Pasal 836 KUHPer tentang waris dan Pasal 1679 KUHPer tentang hibah (pemberian).[1]
Terhadap Pasal 2 KUHPerdata ini ada para sarjana yang menyebut rechts fictie, yaitu anggapan hukum. Anak yang berada dalam kandungan seorang wanita sudah dianggap ada pada waktu kepentingannya memerlukan, jadi yang belum ada dianggap ada (fictie). Selain itu ada para sarjana yang mengatakan bahwa pasal 2 KUHperdata merupakan suatu norma sehingga disebut fixatie (penetapan hukum).[2]
Status seseorang sebagai subyek hukum berakhir oleh kematian orang tersebut. Dengan begitu, selama seorang manusia (naturlijk person) masih hidup, tidak ada satu hukuman pun yang dapat mengakhiri statusnya sebagai subyek hukum. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan pada Pasal 3 KUHPerdata, tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraan.
[1] Lihat Pasal 836 dan 1679 KUHPerdata.
[2] http://kuliahade.wordpress.com/2010/03/24/hukum-perdata-pengertian-subyek-hokum-dan-manusia-sebagai-subyek-hukum/. Diunduh pada tanggal 6 april 2011.
makasih. . . ^_^
ReplyDeleteini ngebantu quw bgt
terimakasih kembali. senang sekali bisa membantu.
ReplyDelete