Mataku terpejam
Namun, tidur tidak
Aku ingat suaranya
Terbalut kain putih merah
Topinya lusuh
Putihnya tak Lagi putih
Pada siang merah tersurat bercak coklat
entah tanah, entah keringat
di kanannya pensil patah dari kotak sampah digenggam
erat.
Kapan aku kesana lagi?
berbisik ia sambil terisak
aku diam
memeluknya di sudut kumuh
Menumpang tangan di kepalanya
kemudian, turun mengikuti alur rambutnya, lusuh
Masih mulutku tak bersenandung
Tangannya menggenggam pensil patah dari tempat sampah
Wajahku tengadah dirimbun tangga langit
berdoa
Telan kami, Pertiwi
Ketika, di atasmu pun aku mengemis
yang dikanan kiri hanya asap
dan debu tangga langit
saat pensil patah anakku mulai bernanah
Telan aku, Bunda
bersama merah putih dalam dekapku
Saat bangsa pun tuli, enggan tangannya menggapai
atau memang buntung
Maaf,
bibir ayahmu tetap terkatup
lidahku keju tak berpindah
namun, bangga aku mendekapmu, anakku
Bersama pensil patah dari kotak sampah
Mari, tangkupkan juga kaki legammu dalam dadaku
Ini bangsa kita,
Buta, Tuli, Buntung, dan Pincang
Di sini aku mendekapmu
bersama pensil patah dari kotak sampah
No comments:
Post a Comment